Gempa Myanmar menambah penderitaan bagi keluarga yang melarikan diri dari konflik
Gempa Myanmar menambah penderitaan bagi keluarga yang melarikan diri dari konflik

Putri bungsu U Than Win dan cucunya yang terluka berdiri di halaman sekolah tempat keluarga mereka mengungsi setelah rumah mereka hancur akibat gempa bumi.
Dua tahun lalu, U Than Win dan keluarganya kehilangan segalanya dan harus melarikan diri demi keselamatan mereka ketika perang yang terkait dengan konflik yang telah melanda Myanmar selama lebih dari empat tahun pecah di kota asal mereka, 100 kilometer dari Mandalay.
“Kedua belah pihak saling menembak, jadi semua orang harus melarikan diri. Semua barang-barang kami diambil, dan rumah-rumah yang tersisa dibakar,” kata petani berusia 68 tahun itu. “Banyak orang meninggal... Kami tidak bisa kembali ke kota kami. Saya tidak punya rumah, dan semuanya hancur.”
Tanpa pilihan lain, Than Win dan keluarganya yang berjumlah 15 orang – termasuk ibunya yang sudah lanjut usia, anak-anak perempuan, dan cucu-cucunya – menuju Mandalay untuk mencari tempat aman dan harapan untuk membangun kembali kehidupan. Mereka termasuk di antara 3,6 juta orang yang masih mengungsi di dalam Myanmar setelah melarikan diri dari rumah mereka selama konflik berkepanjangan.
Kembali ke titik awal
Setelah dua tahun, keluarga itu akhirnya mulai menata kehidupan kembali. Than Win menjual sayuran di pasar lokal, sementara anak-anak perempuannya bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian, menghasilkan cukup uang untuk makan dan membayar sewa gubuk bambu seadanya yang dibangun di samping rumah pemilik tanah mereka di sebuah lingkungan sederhana di kota itu.

U Than Win, 68 tahun, duduk di tempat teduh di halaman sekolah tempat ia dan keluarganya mencari perlindungan setelah gempa bumi.
Namun kehidupan mereka kembali porak-poranda pada 28 Maret, ketika gempa berkekuatan 7,7 skala Richter mengguncang Myanmar, dengan pusat gempa berada di dekat Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu. Ribuan orang tewas dan kerusakan besar terjadi di mana-mana.
Saat guncangan pertama terjadi, salah satu cucu Than Win jatuh ke dalam api di dapur gubuk mereka karena panik, dan mengalami luka bakar serius. Saat membawa cucunya ke tempat aman, Than Win tertimpa reruntuhan saat bangunan milik pemilik tanah dan rumah-rumah tetangga lainnya runtuh di sekitar mereka.
“Hidup kami baru saja mulai membaik,” kata Than Win. “Sekarang gempa ini… membuat saya harus mengungsi lagi.”
“Saat ini, semua orang menderita [tetapi] di antara yang terdampak, kami yang paling parah,” lanjutnya. “Sebagai pengungsi, penderitaan kami berlipat ganda. Kami tidak punya tempat tinggal dan tidak punya apa-apa untuk bertahan hidup.”
Butuh bantuan lebih banyak
Dengan semua biara lokal sudah penuh oleh para pengungsi bencana, Than Win dan keluarganya kini tinggal di bawah pohon di halaman sekolah setempat. UNHCR, Badan PBB Urusan Pengungsi, telah memberikan mereka terpal untuk berteduh dan matras untuk tidur, sementara Badan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyumbangkan beras dan minyak goreng.
“Kami harus tidur di lantai semen. Cuacanya sangat panas… dan kesehatan kami memburuk,” kata Than Win. Kondisi ini sangat sulit terutama bagi ibunya yang berusia 89 tahun dan anggota keluarga lain yang sudah lanjut usia. “Siang hari terlalu panas, jadi kami semua berkumpul di tempat yang teduh. Malam hari, kami pindah ke tempat lain untuk tidur. Sebagai orang lanjut usia, kami tidak bisa bertahan lama dalam penderitaan seperti ini.”
Segera setelah gempa terjadi, UNHCR mengirim pasokan darurat dari stok yang ada untuk membantu sekitar 25.000 korban terdampak paling parah. Kami juga sedang memobilisasi bantuan tambahan dari gudang di dalam negeri untuk mendukung 25.000 orang lainnya, tetapi persediaan perlu segera ditambah untuk memenuhi kebutuhan besar para korban bencana dan konflik selama bertahun-tahun.
Pada hari Jumat, UNHCR meluncurkan seruan untuk mengumpulkan dana sebesar USD 16 juta guna memberi bantuan darurat, mengelola lokasi pengungsian, dan menyediakan layanan perlindungan bagi 1,2 juta orang di Myanmar hingga akhir tahun.
“Gempa bumi ini memperparah tantangan bagi keluarga-keluarga yang sudah mengungsi sebelumnya,” jelas Eliza Stephen, kepala tim lapangan UNHCR di Mandalay. “Keluarga-keluarga telah kehilangan tempat tinggal, orang-orang tercinta, dan juga rasa aman mereka. Mereka sangat membutuhkan dukungan kita.”