Close sites icon close
Search form

Cari untuk di situs negara.

Profil negara

Situs web negara

Babak Baru dengan Martabat: Bagaimana Bantuan Dana Tunai yang Didanai Bersama Uni Eropa Membantu Keluarga Rohingya Membangun Kembali Kehidupan di Indonesia

Cerita

Babak Baru dengan Martabat: Bagaimana Bantuan Dana Tunai yang Didanai Bersama Uni Eropa Membantu Keluarga Rohingya Membangun Kembali Kehidupan di Indonesia

13 Agustus 2025 Tersedia juga dalam:
Abdul, Hafiza, dan anak-anak mereka di dapur umum

Abdul, Hafiza, dan anak-anak mereka di dapur umum di tempat penampungan tempat mereka tinggal bersama hampir 100 pengungsi Rohingya yang membutuhkan perlindungan. 

Indonesia, 8 Agustus 2025 – Ketika Abdul* dan istrinya, Hafizah*, menaiki perahu kayu yang penuh sesak bersama tiga anak mereka, mereka tahu bahwa perjalanan itu bisa saja mengorbankan segalanya. Namun, setelah bertahun-tahun hidup tanpa kewarganegaraan, mengalami penganiayaan dan trauma, mereka percaya bahwa risiko itu layak diambil. “Kami tahu kami bisa saja mati dalam perjalanan,” kata Abdul, “tetapi tetap tinggal [di negara sebelumnya] sama berbahayanya dan berarti tidak ada masa depan bagi anak-anak kami.”

Pasangan ini, yang keduanya adalah pengungsi Rohingya asal Myanmar, sebelumnya sudah pernah melarikan diri. Pada tahun 2017, serangan kekerasan melanda desa mereka, membakar rumah-rumah dan memisahkan keluarga. Abdul dan Hafizah melarikan diri ke Bangladesh, tempat mereka tinggal di kamp pengungsi selama hampir tujuh tahun.

Namun, kehidupan di kamp menjadi semakin tidak aman dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, keluarga mereka kembali mengalami trauma ketika anak laki-laki mereka yang masih kecil diculik. Meskipun kemudian dibebaskan, mereka tidak merasa aman lagi. “Setelah itu, kami tidak bisa tinggal disana lagi,” kata Abdul. “Meskipun kami tidak punya apa-apa, kami masih punya kalung dan cincin emas milik istri saya untuk membayar agen agar membawa kami ke tempat lain. Kami hanya ingin bertahan hidup.”

Keluarga ini menjalani perjalanan laut yang mengerikan selama 25 hari bersama 149 orang lainnya, sering kali tanpa cukup makanan dan air bersih. Banyak orang yang jatuh sakit selama perjalanan, termasuk Hafizah yang mengalami kesulitan bernapas. Namun, dia tetap menggendong anak perempuan mereka yang saat itu baru berusia dua bulan sepanjang perjalanan. Akhirnya, pada Desember 2023, mereka tiba di Sabang, Aceh. Yang terjadi setelahnya adalah masa yang panjang dan penuh ketidakpastian—pertama di tempat penampungan darurat di hutan, kemudian di gudang—sebelum akhirnya dipindahkan ke Lhokseumawe.

Saat ini, Abdul dan Hafizah tinggal bersama 30 keluarga Rohingya lainnya di lokasi yang ditetapkan oleh otoritas di Lhokseumawe untuk menampung para pengungsi. Mereka sangat bersyukur kepada pemerintah Indonesia karena telah mengizinkan mereka tinggal, dan kepada masyarakat setempat atas dukungan dan persahabatan yang telah mereka tunjukkan. Kondisi di tempat penampungan masih sangat sederhana, dan privasi sangat terbatas. Namun, di sini mereka menemukan sesuatu yang sudah lama hilang: rasa kemapanan sementara—dan harapan.

Harapan itu sebagian besar ditopang oleh bantuan tunai bulanan yang mereka terima melalui UNHCR, yang dimungkinkan melalui pendanaan bersama dari Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa (ECHO).

Pendanaan tersebut awalnya mendukung program distribusi makanan UNHCR untuk pengungsi Rohingya di Aceh dan Sumatera Utara. Namun, pada Maret 2025, program ini beralih ke bantuan tunai dasar untuk memungkinkan keluarga pengungsi, termasuk keluarga Abdul, membeli bahan makanan pokok dan memasak makanan sendiri—sesuatu yang memberikan gizi sekaligus martabat.

Abdul dan Hafizah berbelanja di pasar

Berkat bantuan dana tunai yang didanai bersama oleh Uni Eropa, keluarga pengungsi seperti keluarga Abdul dapat membeli makanan pokok di pasar lokal dan menyiapkan makanan sendiri. Pada saat yang sama, pengeluaran harian mereka turut mendorong perekonomian masyarakat setempat dan menguntungkan para pelaku usaha di pasar.


“Kami menggunakan uang itu untuk membeli beras, bawang, sayuran, dan ikan. Saya dan istri memasak bersama untuk anak-anak kami,” kata Abdul. “Kadang-kadang kami memasak kari ayam atau sup. Kalau ada sedikit uang lebih, kami beli buah naga dan es krim—itu makanan favorit anak-anak.”

Bantuan dana tunai juga memungkinkan keluarga untuk membuat pilihan sendiri dan memprioritaskan kebutuhan mereka. “Kami ke pasar setiap hari karena kami tidak bisa menyimpan makanan,” jelas Hafizah. “Kami memasak makanan segar setiap hari. Anak-anak senang saat kami memasak makanan khusus untuk mereka tanpa cabai.”

Abdul and Hafiza memasak untuk keluarga

Abdul dan Hafiza membeli bahan makanan di pasar dan memasak setiap hari untuk keluarga mereka karena tidak memiliki tempat penyimpanan makanan untuk hari-hari berikutnya.

Di lokasi pengungsian, keluarga pengungsi juga menerima paket kebersihan, air bersih, dan dukungan pengobatan dari mitra lainnya. Namun, tantangan tetap ada. Tempat penampungan tidak memiliki kamar pribadi, hanya ruang yang disekat dengan sarung dan selimut. Toilet umum juga cukup jauh dari ruang tinggal para pengungsi, yang menjadi kesulitan tersendiri bagi Hafizah yang menderita sakit kronis. Meski begitu, keluarga ini tetap bersyukur. “Kami tidak menghadapi tantangan seperti dulu. Kami merasa aman,” kata Abdul. Namun, dia tetap khawatir untuk masa depan anak-anaknya, yang—pada usia 10 dan 9 tahun—belum pernah mengenyam pendidikan formal. Karena tidak adanya layanan pendidikan, Abdul dan Hafizah mengajar anak-anak mereka sendiri. “Saya dulu mengajar bahasa Inggris di kamp pengungsi di Bangladesh, sementara istri saya mengajar anak-anak bahasa Arab,” tambahnya. “Sekarang, kami menggunakan materi PDF untuk mengajarkan anak-anak membaca dasar dan Al-Qur’an.”

Meskipun bantuan tunai mencukupi kebutuhan pangan mereka selama sebulan, namun tidak cukup untuk menutupi biaya pengobatan, pakaian, atau menabung. “Saya masih harus meminjam uang dari orang lain bulan ini,” kata Abdul. Di atas segalanya, mereka bermimpi akan masa depan yang damai di negara di mana anak-anak mereka bisa bersekolah, tumbuh dengan aman, dan membangun kehidupan bebas dari rasa takut. “Saya tidak punya harapan untuk diri saya sendiri,” kata Abdul dengan suara pelan, “tapi saya punya harapan untuk anak-anak saya.”

Berkat dukungan besar dari ECHO dan para donor lainnya, lebih dari 430 pengungsi dari sekitar 130 keluarga Rohingya di Aceh kini mulai mengambil langkah pertama untuk membangun kembali kehidupan mereka dengan martabat dan ketangguhan—meski dalam pengungsian.

*Nama-nama telah diubah demi alasan perlindungan.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa, kunjungi:
https://civil-protection-humanitarian-aid.ec.europa.eu/